Saturday, April 28, 2007

Peringatan atau Azab?

Oleh : KH Didin Hafidhuddin
Sungguh sangat menyedihkan melihat peristiwa terbakarnya kapal Levina I yang telah merenggut korban jiwa maupun materi yang cukup besar. Belasan penumpang meninggal dunia, puluhan luka-luka, bahkan dua petugas polisi Puslabfor Mabes Polri, Kompol Widiantoro dan AKBP Langgeng Widodo, serta dua crew televisi nasional yaitu dari SCTV dan Lativi juga meninggal dunia.
Kecelakaan tersebut seolah-olah melengkapi kecelakaan dan musibah yang terjadi sebelumnya, baik musibah alam seperti gempa, badai tsunami, angin puting beliung, banjir bandang, tanah longsor, maupun musibah sosial seperti tawuran antarkampung, antarkelompok, hanya karena persoalan yang sepele. Seperti perluasan kabupaten maupun kota, yang seharusnya bisa diselesaikan secara elegan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dari rentetan kejadian di atas, maka timbul sebuah pertanyaan dalam benak kita, apakah semua kejadian yang menimpa tersebut, merupakan sebuah peringatan ataukah sebuah azab dari Allah SWT? Tentu saja dalam hal ini, kita dapat melihatnya dari beberapa segi dan sangat tergantung pada respons yang kita lakukan setelah peristiwa-peristiwa tersebut terjadi. Kalau kita meresponsnya, dengan sikap sadar, mau mengoreksi dan mengintrospeksi diri, serta mau melakukan muhasabah, maka hal itu insya Allah merupakan sebuah peringatan, bahkan bisa juga merupakan salah satu wujud dari kasih sayang Allah yang diberikan kepada masyarakat dan bangsa kita, agar menjadi bangsa yang mau kembali pada ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam firman-Nya pada QS Ar-Rum [30] ayat 41: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Dalam ayat tersebut di atas (QS 30: 41) terdapat kata-kata La'allahum yarji'un (agar manusia kembali pada jalan Allah), ini menggambarkan, bahwa kalau setelah musibah-musibah tersebut kita meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, seperti korupsi, khianat, zalim, dan sifat-sifat buruk lainnya, maka insya Allah musibah-musibah tersebut ujungnya merupakan peringatan dari Allah, yang akan mengangkat derajat, harkat dan martabat kita. Di samping itu dengan terjadinya musibah tersebut, jika dianggap sebagai sebuah peringatan, maka akan meningkatkan kualitas keimanan, kesabaran, ketabahan, empati dan simpati, serta ketakwaan kita kepada Allah SWT. Karena ternyata - telah terbukti - bahwa ketika menghadapi musibah, ada satu sifat baik yang menonjol dari masyarakat kita, yaitu keinginan untuk saling menolong. Betapa besar sumbangan mereka - seperti yang dipublikasikan - lewat televisi, surat kabar, majalah, maupun lewat sarana yang lain, yang memberikan bantuannya. Demikian pula, tampak rasa kesetiakawanan sosial pada masyarakat, ketika melaksanakan kegiatan bersih-bersih kota Jakarta pascamusibah banjir tersebut. Semua pihak dan semua kelompok saling bahu-membahu dan saling membantu serta bersatu padu dalam melakukannya.
Tetapi sebaliknya, jika kita merespons musibah tersebut dengan sikap apatis tidak mau mengubah perilaku dan perbuatan kita yang buruk tadi, seperti korupsi yang semakin merajalela, para pejabat semakin tidak amanah, selalu berkhianat, tidak berpihak pada masyarakat yang lemah, demikian pula perilaku-perilaku buruk lainnya, maka musibah tersebut akan menjadi sebuah azab yang ujungnya sangat mengerikan. Oleh karena itu, Allah SWT mengingatkan kita melalui firman-Nya pada QS An-Nahl [16] ayat 112: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat."
Pada ayat tersebut (QS 16: 112) terdapat kata-kata fakafarat bian'umillah (kemudian manusia kufur pada nikmat-nikmat Allah). Kufur dalam arti tidak mau melaksanakan ketentuan dan aturan Allah, tidak berpegang teguh pada Alquran dan hadits dalam mengeksploitasi dan memanfaatkan alam raya - hanya untuk kepentingan sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat banyak - maka yang terjadi, azab dan siksa Allah SWT akan menimpa, dalam bentuk pakaian kelaparan dan pakaian ketakutan yang sangat dahsyat. Hal ini juga pernah terjadi pada masyarakat dan umat terdahulu, yang mereka dihancurkan dengan azab yang sangat dahsyat, karena mereka mendustakan ayat-ayat-Nya. Sebagaimana dikemukakan dalam QS Asy-Syams [91] ayat 14-15: "Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyamaratakan mereka (dengan tanah) (14) dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu (15)."
Dalam ayat tersebut (QS 91: 14-15) dikemukakan, bahwa mereka mendustakan Nabi dan mereka menyembelih hewan yang dilarang untuk disembelih, maka kemudian Allah menimpakan azab-Nya, yaitu meratakan mereka dengan tanah. Perhatikan juga QS Al-Fajr [89] ayat 12-14: "Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu (12). Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (13). Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi (14)."
Dalam ayat ini (QS 89: 12-14) dijelaskan, bahwa walaupun bangsa-bangsa tersebut adalah bangsa yang kuat, seperti kaum Tsamud, kaum 'Aad, maupun bala tentara Fir'aun yang begitu hebat dan kuat, akan tetapi karena mereka kufur dan mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah SWT menghancurkan mereka dengan sehancur-hancurnya.
Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan apakah musibah yang terjadi itu merupakan sebuah peringatan ataukah azab, sangat tergantung dari respons yang kita miliki, mau memperbaiki diri atau tetap berbuat kerusakan? Wallahu 'alamu bi ash-Showab.

No comments: