Wednesday, November 09, 2016

MENGAJARKAN SHALAT


Cara yang pertama kali dilakukan oleh ayah dalam mengajarkan shalat kepada anak adalah dengan memberikan peragaan secara lansung, bukan pengarahan. Cara ini diterapkan tahap permulaan masa kanak-kanak dan sebelum mumayyiz.

 Pelaksanaannya adalah dengan melalui peragaan shalat sunnah yang dilakukan ayah di rumah yang disaksikan oleh anak. Mengapa harus shalat sunnah di rumah?? Sebagaimana diketahui bahwa shalat sunnah di rumah lebih utama daripada di masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 “Kerjakanlah shalatmu di rumahmu, dan janganlah menjadikan rumah sebagai kuburan.” (HR. Bukhari)

“Shalat yang dilakukan oleh seseorang dalam rumahnya adalah lebih utama dari pada yang dilakukan di masjidku ini, kecuali shalat fardhu.” (HR. Abu Daud)

Hadits di atas mendorong seseorang untuk melakukan shalat sunnah di rumah. Tidak diragukan lagi berkah dan pahala shalat ini akan dilipatgandakan oleh Allah. Dengan melakukan shalat sunnah di rumah, berarti telah memberikan pendidikan yang kuat pada anak, karena mereka menyaksikan langsung orang tuanya meletakkan wajahnya di muka bumi untuk bersujud kepada Allah, berdiri khusyu’, tidak melirik kepada orang yang ada di sekitarnya, dan kesungguhan orang tua dalam beribadah.
Pemandangan yang setiap hari berulang kali disaksikan oleh anak akan menanam rasa keagungan Allah dalam diri anak. Secara bertahap anak akan mengakui kedudukan Allah Yang Maha Tinggi dalam diri anak. Pemandangan ini pun akan mendorong anak untuk suka melakukan shalat karena ayahnya pun suka melakukannya, mereka juga mengenal gerakan-gerakan shalat seperti takbir, ruku’, sujid, dan berdiri I'tidal.

Kebanyakan anak kecil terdorong untuk meniru ayahnya. Maka ketika ia melihat ayahnya shalat, maka serta merta ia mengikuti gerakannya. Pemandangan yang berulang-ulang ini akan membiasakn anak melihat kegiatan shalat dan menjadikannya perbuatan yang tidak asing dalam dirinya. Sehingga sebelum usia mumayyiz, sudah dapat melaksanakan shalat dengan cara yang baik hanya dengan saja.

(Buku Mendidik Anak Laki-laki, karya: Adnan Hasan Shalih Baharits)
__________
Inilah rahasianya, bahwa anak-anak akan meniru apa saja yang dilakukan orang sekelilingnya, terutama orang tua. Maka pahami urutan dan tahapan, kapan masanya mereka diajarkan dengan teladan (lihat dan tiru ) dan kapan mereka diajarkan dengan perintah. Perhatikan juga lingkungan, dengan siapa anak bergaul dalam kesehariannya yang ia akan meniru apa saja dari lingkungannya.


Bersambung…..Insya Allah

Santap pagi buat Ayah Bunda, selamat menikmati


Menghidupkan Kembali Parenting Nabawiyah


“Jangan pernah merasa Beristirahat, sebelum sebelah kaki menginjak surga,” begitulah motto hidup Ustadz Budi Ashari Lc. Kalimat yang diinspirasikan dari jawaban Imam Ahmad terhadap pertanyaan anaknya itu, benar-benar membuat ayah dengan tiga anak ini tak kenal lelah dalam mengejar idealisme ilmu.

Akan tetapi, setelah menamatkan diri di Fakultas Hadis dan Dirosah Islamiyah Universitas Islam Madinah, kegundahan lantas menghampirinya. Bagaimana mungkin banyak keluarga muslim porak-poranda mengidentifikasi konsep keilmuan Barat dalam mengarungi bahtera rumah tangga padahal Islam memiliki konsep yang bisa memutus mata rantai kesalahan itu.

Melihat fenomena ini, ia bersama kawan-kawannya membidani lahirnya sebuah Lembaga Kajian Peradaban Islam yang diberi nama Cahaya Siroh. Siang, sore, bahkan hingga malam, mantan pimred Majalah Ghoib ini setia berbagi dari satu pengajian ke pengajian lainnya untuk memperkenalkan bagaimana Nabi memiliki konsep orisinil tentang parenting.

Lantas bagaimanakah konsep parenting nabawiyah yang beliau telurkan? Apa yang harus dilakukan keluarga muslim di tengah era badai fitnah akhir zaman seperti ini? Kontributor CGS, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi mencoba mewawancarainya, sesaat setelah acara Grand Launching Buku Parenting Nabawiyah di Jakarta, beberapa waktu lalu. Berikut adalah petikannya.

Banyak konsep parenting sekarang beredar, termasuk konsep parenting “Islami”. Lantas apa yang keliru?

Sebenarnya kekeliruan ini tidak hanya terjadi pada konsep parenting, tapi juga di semua bidang seperti pendidikan dan teknologi. Dan ini memang sebuah konsekuensi ketika Islam tidak hadir di semua bidang.

Ilmu selain Islam akan selalu berkutat dalam tiga hal: pertama, dia bisa benar. Kedua, dia benar tapi tidak sempurna, dan ketiga salah total. Dan itu terjadi di konsep parenting. Dia (konsep parenting barat, red.) mungkin benar, dicarikan ayat dan hadisnya juga ketemu. Tapi menurut saya yang betul-betul benar tidak banyak. Banyak konsep parenting yang sekarang beredar ada di poin dua dan tiga itu tadi. Hal itu juga ditunjang dalam penelitian.

Berarti 2/3 dari konsep parenting yang sekarang beredar bermasalah. Kalau begini, bagaimana kita bisa mendapatkan hasil yang terbaik? Pokoknya, ketika ada ayat Al Qur’an dan Hadis ditabrak pasti hasilnya akan salah.

Apa yang membedakan konsep Parenting Nabawiyah dengan yang lainnya?

Sebenarnya ada proses yang dinamakan Islamisasi ilmu. Saat Andalusia sedang berjaya di Eropa, banyak keilmuan Islam diambil dari Eropa dan menjadi literatur Ilmu disana. Bahkan kita ketahui Andalusia kala itu menjadi pusat keilmuan paling bergengsi di dunia sampai-sampai orang Eropa mengenakan pakaian yang menyerupai orang Arab.

Nah, setelah menuntut ilmu di Andalusia, banyak orang Eropa membawa pulang ilmunya. Namun mereka banyak melakukan kecurangan. Sebuah karya ilmiah dari Andalusia kemudian dihapus namanya dan yang paling buruk adalah banyak karya dari Andalusia kemudian ditulis dengan no name (tanpa nama). Itu buruk sekali, padahal itu semua keilmuan dari Islam. Hal itu terus berjalan seiring mereka melakukan plagiatisasi dari ilmu-ilmu Islam. Dan ketika Andalusia terkubur, mereka naik.

Syekh Muhammad Quthb pernah berkata, kalau secara nilai tidak ada satupun yang bisa kita ambil dari Barat. Tapi Barat lebih maju hari ini dalam hal-hal yang sifatnya mendetail.Dalam psikologi misalnya, mereka mencoba mengangkakan jiwa seseorang, maka timbullah konsep IQ dimana kecerdasan bisa diangka-kan. Dari sisi itu kita akui mereka dahsyat. Namun mereka lepas dari dasar-dasar nash.

Oleh karena itu, parenting nabawiyah ingin membalik itu semua. Kita tidak memulai sebuah konsep dari penelitian, tapi jsutru berawal dari Al Qur’an dan Hadis. Suatu saat kita akan membuat penelitian, jika hasil penelitian itu pas dan tidak bertentangan dengan Nash maka kita masukkan. Jika tidak, maka kita tinggalkan.

Berarti Parenting Barat bermula dari Empirisisme?

Kalau kita bicara empirisme, sayangnya banyak orang bilang konsep dari Islam itu tidak empiris. Bagaimana tidak empiris? Wong Islam sudah seribu tahun mempraktekan keilmuannya.

Rasulullah SAW sendiri bagaimana mendidik anak-anaknya?

Ya, jika Allah mengizinkan itulah yang akan kita bahas secara berkelanjutan dan berkala. Tentang bagaimana Nabi mendidik anaknya dan mendidik anak-anak para sahabat. Alhamdulillah banyak para ulama sudah menulis bagaimana konsep pendidikan Nabi. Sayangnya di Indonesia, jika bicara pendidikan Islam tidak pernah jauh dari buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan (Tarbiyatul Aulad/Pendidikan Anak Dalam Islam, red).

Saya sering bilang, buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan adalah sebuah karya ilmiah yang luar biasa. Tapi ketika ada beberapa hal tidak bisa dijawab buku itu, lantas datang kritik terhadap buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan, semua orang kemudian menjadi memproteksi. Padahal ada bantahan ilmiah terhadap buku itu tanpa mengurangi kehebatan buku tersebut.

Selain Syekh Abdullah Nashih Ulwan, siapa Ulama yang bisa kita rujuk?

Di Abad 5 Hijriah ada Abu Al Walid Al Baji. Begitu juga dengan Ibnu Qayyim Al Jauzi. Mereka semua menulis tentang anak. Di Kitab Mukaddimah, Ibnu Khaldun juga memuat tentang Pendidikan Anak. Sampai konsep hukuman terhadap anak pun ditulis khusus oleh Ibnu Khaldun. Belakangan kesini, banyak yang menulis tentang pendidikan. Muhammad Quthb salah satu yang ahli dalam menulis tentang pendidikan anak.

Para sahabat adalah orang yang sangat teguh memegang ajaran Islam. Sebenarnya dari mana Rasulullah SAW memulai pendidikannya kepada mereka?

Kalau kita bicara keluarga, Nabi memulai konsepnya sejak memilih pasangan. Dari tempat dijatuhkannya nutfah. Makanya Nabi merasa perlu sekali untuk ikut campur dalam proses pernikahan sahabat. Sehingga Nabi lah yang secara langsung memilihkan pasangan bagi para sahabat. Ketika Istri Utsman Bin Affan, Ruqayyah meninggal, Nabi langsung menawarkan adiknya, Ummu Kultsum. Begitu juga ketika Ummu Kultsum meninggal Nabi langsung bilang, ‘Demi Allah Utsman, jika aku punya anak perempuan lagi, maka aku akan nikahkan kepadamu.”

Tapi banyak yang bilang bahwa Pendidikan Zaman Nabi berbeda dengan kondisi saat ini?

Ini memang kalimat yang sangat menyesatkan. Ada yang memahaminya salah, ada pula yang sengaja memahaminya salah. Jangankan kalimat yang begitu, kalimat yang sekarang dijadikan sumber dalam pendidikan dan dianggap sebagai sebuah kalimat sakral adalah ‘didiklah anak sesuai zamannya.’

Anda tahu ini kalimat siapa? Rasulullah SAW pun bukan. Ada yang mengatakan kalimat Umar atau Ali, silahkan tanya ahli hadis. Kata Aidh al Qorni ada yang mengatakan bahwa itu kalimat Umar tapi diragukan. Hitunglah kalimat itu benar, kalimat itu juga jangan disakralkan, karena itu bukan wahyu.

Misalkan, kedepan di Indonesia tidak lagi memerlukan pernikahan dan pasangan gay serta lesbian diizinkan untuk menikah, apakah ini yang dimaksud dengan sesuai zamannya? Maka dalam parenting kita harus mengambil sosok yang terbaik yaitu Rasulullah SAW.

Ini bisa jadi kalimat orang yang tidak faham sejarah. Orang yang faham sejarah akan mengatakan bahwa sejarah akan mengulang dirinya sendiri, artinya tidak ada yang baru dalam dunia ini. Sejarah itu dipelajari juga karena itu. Maka ketika Abu Jahal meninggal, Rasulullah pun berkata Hadza fir’aun hadzihil ummah. Abu Jahal ini Fir’aunnya umat. Padahal Fir’aun hidupnya kapan? Jauh sekali, tapi Nabi hanya ingin mengatakan bahwa Fira’un di zaman apapun pasti ada. Hanya tampil dalam rupa berbeda. Begitu juga dengan konsep pendidikan dan parenting.

Bolehkah kita berdiskusi dengan anak tentang Allah di tengah rasio mereka yang belum berkembang?

Ada kalimat yang bagus dari Syekh Muhammad Quthb. Beliau mengatakan Allah sengaja membuka mulut anak-anak di waktu kecil untuk dimasukkan nilai-nilai tauhid oleh orangtuanya. Banyak anak bertanya mengapa matahari timbul di siang hari tapi tidak di malam hari. Kenapa pohon kelapa tinggi, sedangkan pohon yang lainnya pendek. Bayangkan banyak dari kita menjawab secara ilmiah untuk anak sekecil itu. Maka menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Syekh Muhammad Quthb memberikan jawaban yang sangat bagus sekali, ‘Begitulah Allah menghendakinya’.

Ustadz mengatakan bahwa membangun keluarga harus dekat dengan Visi KeIslaman, namun fenomena yang berkembang tidak sedikit para aktivis dakwah yang bercerai, bagaimana pandangan ustadz mengenai fenomena ini?

Salah pertama adalah tidak ada ilmunya. Masyarakat kita sering sekali memahami kalau ustadz ilmunya banyak. Kalau dai mengetahui segalanya. Apalagi level ustadz gampang sekali disematkan bagi siapa saja. Lulusan Timur Tengah pun juga tidak ada jaminan mengerti konsep parenting jika ia tidak mau menggalinya.

Kalau ilmu sudah dimiliki ia akan bisa menerapkannya. Ilmu itu yang akan menutup adalah syahwat. Kalau syahwat sudah bicara, maka Ilmu akan tertutup. Saya berikan contoh sederhana, sekarang banyak sekali kesalahan fatal ibu-ibu para dai yang merasa sangat bangga memiliki pengajian di banyak tempat. Lantas anaknya dikemanakan? Anaknya ditelantarkan di rumah. Padahal siapa yang menyuruh seorang wanita aktif di luar rumah, tapi anaknya ditelantarkan?

Ummu Salamah RA misalnya, membaca kiprahnya di masyarakat memang tidak sekaliber Aisyah RA. Kenapa? Karena Ummu Salamah RA anaknya banyak, berbeda dengan Aisyah RA yang tidak memliiki anak.

Surat Al Ahzab ayat 33 misalnya, faqorna fii buyutikun, menetaplah kalian para wanita di rumah kalian, siapa yang mau menerima ayat itu seutuhnya? Ayat ini malah dilawan dan dibelokkan sana-sini.

Di era badai fitnah saat ini, apa pesan Ustadz bagi keluarga muslim?

Sebenarnya zaman ini sedang mencari cahaya. Zaman ini sedang mencari Tuhannya, karena itu memang karakter zaman jahiliyah. Sebagai muslim kita harus bersyukur, kita punya cahaya hidayah yang diberikan oleh Allah. Maka jangan tinggalkan cahaya itu dan kita malah lari ke cahaya kegelapan. Kita harusnya mencari cahaya itu dari sumbernya. Tidak ada lain cahaya itu bersumber dari Allah SWT. Allahu nurus samawati wal ardh. Allah lah cahaya langit dan bumi. [Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi].

Saturday, October 01, 2016

KISAH INSPIRATIF - Sehelai Rambutmu Lebih Mulia Dari Jubah Ulama

KISAH INSPIRATIF

💞 Sehelai Rambutmu Lebih Mulia Dari Jubah Ulama

Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dikunjungi seorang wanita yang ingin mengadu.

“Ustadz, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saya, saya merajut benang di malam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak saya dan menyambi sebagai buruh kasar di sela waktu yang ada.

Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang bulan.”

Imam Ahmad rahimahullah menyimak dengan serius penuturan ibu tadi. Perasaannya miris mendengar ceritanya yang memprihatinkan.

Dia adalah seorang ulama besar yang kaya raya dan dermawan. Sebenarnya hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada wanita itu, namun ia urungkan dahulu karena wanita itu melanjutkan pengaduannya.

“Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu.

Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual?

Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu?

Sebab, saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.”

Imam Ahmad rahimahullah terpesona dengan kemuliaan jiwa wanita itu. Ia begitu jujur, di tengah masyarakat yang minim akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal haram lagi.
Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papa.

Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Ahmad rahimahullah bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?”

Dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku, “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”

Imam Ahmad rahimahullah makin terkejut.  Basyar Al-Hafi rahimahullah adalah Gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jabatannya yg tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.

Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Pada masa kini, ketika orang-orang sibuk menumpuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan menggerogoti uang negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada wanita terhormat seperti engkau, ibu. Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis serban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.

"Subhanallah, sungguh mulianya engkau, sampai hasil rajutan itu engkau haramkan? Padahal bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara…”

Kemudian dengan penuh haru dan takjub Imam Ahmad rahimahullah melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silahkan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada wanita semulia engkau…”.

Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, dari Rasulullah, beliau bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِحَرَامٍ

“Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.”
(Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib 2/150 no. 1730)

Jangan cari Kekayaan tanpa keberkahan, Carilah keberkahan walau dengan itu kamu tidak kaya.

Semoga bermanfaat dan menjadi asbab hidayah bagi kita..

✒ Copas dari Group Kajian WA Bilal bin Rabah.

Wednesday, September 28, 2016

Kenapa Takut Kalau Ikut Syariat?

Kenapa Takut Kalau Ikut Syariat?

Ditulis oleh Poppy Yuditya
Suatu ketika Ustadz Budi Ashari, Lc menanyakan sebuah pertanyaan kepada peserta seminar Parenting Nabawiyah di Bogor. Pertanyaannya sepertinya  mudah, dan jawabannya pun sudah tersedia, tinggal memilih.

Begini pertanyaannya:

“Ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, mana yang lebih mudah sebenarnya, menjadikan anak kita rusak atau menjadikan anak kita sholih?”

Dan serta merta kebanyakan peserta seminar menjawab dengan suara lantang dan tegas : RUSAK

Ketika Ustadz Budi Ashari menanyakan kembali, “Yakin?”

Maka sebagian mulai tampak berpikir keras, dan sebagian lagi masih yakin dengan jawaban semula.

Ustadz Budi  pun mengingatkan :

“Bukankah kita semua meyakini bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani?”

*

Demikianlah sekilas percakapan singkat pembuka seminar yang saya yakin seharusnya menjadi pertanyaan penting bagi semua orang tua saat ini. Kekhawatiran  demi kekhawatiran  terjadi di tengah masyarakat. Orang tua mulai resah bahkan ketakutan luar biasa dengan hal-hal negatif  yang muncul dalam proses pendidikan anak-anak lain akibat dampak dari berbagai artikel dan liarnya berita di media sosial.

Ada dua hal utama yang harus menjadi bahan perenungan kita:

Bila kita meyakini anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka bukankah lebih mudah bagi mereka diarahkan untuk menjadi anak sholih? Karena mereka bukanlah kertas putih yang tak bertuliskan apa pun.  Mereka adalah Muslim. Mereka Muslim  bahkan sebelum mereka dilahirkan. Mereka diikat kesaksian suci dalam jiwa mereka oleh Allah di alam ruh.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku adalah Tuhan-Mu", dan dia saat itu telah menjawab: "Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lupa terhadap (persaksian) ini.” (QS. al-A’raaf; 7:172)



Masih mau berpikir bahwa anak kita adalah kertas putih yang tak punya kecenderungan apa pun? Percayalah, mereka cenderung kepada fitrah, mereka cenderung kepada jalan yang sudah ditentukan kepada mereka bahkan sebelum mereka dilahirkan.

Maka bukankah menjadi aneh, bila manusia yang diciptakan dalam keadaan fitrah lebih mudah untuk mengikuti yang bukan fitrah?  Bukankah  bila mengikuti fitrah semestinya hanya tinggal meneruskan dan tidak perlu mengubah apa-apa lagi?

Sebaliknya bila ingin anak rusak,  bukankah justru butuh usaha keras luar biasa untuk melakukannya karena melawan fitrah?

Namun semua seakan terbalik. Orang tua yang sholih dan mengharapkan anak-anak mereka sholih dilanda ketakutan yang luar biasa. Kekuatiran yang bahkan tak mampu ditekan oleh mereka.

Kenapa?

Karena ternyata orang tua nya masih juga bingung menentukan harus lewat jalan yang mana untuk melangkah dalam mendidik anak-anak mereka. Dunia  yang melenakan mengaburkan kesucian fitrah itu. Semua seakan baik, semua seakan benar.  Ikut arus,trend, dan latah.  Hingga tak punya cukup kepercayaan diri untuk  mencukupkan diri dengan: IKUT SYARIAT SAJA.

‘Abdullah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu berkata :


خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًا، وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هذِهِ سُبُلٌ ]مُتَفَرِّقَةٌ[ لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda: ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tidak satupun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaithan yang menyeru kepadanya.’

Selanjutnya beliau membaca firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-berai-kan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’am: 153]



Jadi kenapa masih takut? Ikut syariat saja, biar Allah yang melindungi anak-anak kita.

Sertai mereka selalu dalam doa dan sujud panjang kita…



Allahu a’lam bish-shawab.

Tuesday, September 27, 2016

Ayah…Ternyata Anda Penyebab Utamanya

Ditulis oleh Budi Ashari


Apakah Anda termasuk ayah yang berkeyakinan seperti ini ; ayah kan sudah keluar seharian sampai kadang pulang malam mencari uang demi anak. Supaya bisa memberikan gizi yang lebih baik, menyekolahkan di tempat yang berkualitas yang biasanya mahal, memenuhi fasilitas belajar dan kehidupan anak-anak. Jadi pendidikan, diserahkan ke ibunya saja.

Jika Anda tipe ayah seperti ini, terjemahan dalam rumahnya menjadi begini ; ibu yang mengurusi semua semua hal tentang pendidikan baik ilmu ataupun keteladanan, kemudian pertemuan dengan ibu dianggap sudah cukup mewakili, efeknya merasa tidak terlalu penting pertemuan fisik ayah dengan anaknya, dan akhirnya ayah menumpahkan kesalahan yang dilakukan anak kepada ibu yang tidak becus mendidik, tanpa merasa ada andil kesalahan ayah di sana.

Anda ayah yang seperti ini?
Jika iya jawaban Anda,
atau: mungkin,
atau: kayaknya sebagian benar tuh.

Maka, sungguh Anda akan kehilangan anak-anak Anda di kemudian hari. Saat anak Anda memasuki pelataran masa depannya dan Anda telah memasuki kamar usia senja. Atau bahkan lebih cepat dari itu. Berbagai tsunami masalah menghantam kenyamanan rumah Anda karena ulah anak Anda yang baru gede.



Para ayah yang dirahmati Allah, yuk kita baca nasehat ini. Nasehat yang datang dari seorang ulama ternama abad 8 H. Semoga para ayah mendapatkan petunjuk Islam tentang keayahan.

Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam kitab (Tuhfatul maudud 1/242, MS) secara tegas mengatakan bahwa penyebab utama rusaknya generasi hari ini adalah karena ayah.

Beliau mengatakan, “Betapa banyak orang yang menyengsarakan anaknya, buah hatinya di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya, tidak mendidiknya dan memfasilitasi syahwat (keinginannya), sementara dia mengira telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengira telah menyayanginya padahal dia telah mendzaliminya. Maka hilanglah bagiannya pada anak itu di dunia dan akhirat. Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah”.

Bacalah kalimat yang paling bawah : Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah. Imam Ibnu Qoyyim ‘menuduh’ Anda semua, para ayah. Di mana penyebab utama kesengsaraan anak, buah hati ayah di dunia dan akhirat adalah ayah. Hal ini disebabkan oleh 3 hal: tidak memperhatikan, tidak mendidik dan memfasilitasi syahwat.
Astaghfirullah...bagaimana nih, para ayah...?

Untuk menguatkan kalimat mahal di atas, mari kita simak pemaparan hasil penelitian ilmuwan hari ini.

Dr. Tony Ward dari University of Melbourne, Australia melakukan penelitian. Dalam penyelidikannya, para periset mewawancarai 55 laki-laki yang dipenjara karena penganiayaan terhadap anak-anak dan 30 laki-laki yang dipenjara karena terlibat kasus pemerkosaan. Mereka diminta memberikan persepsi-nya terhadap hubungan mereka di masa kanak-kanak dengan ayah dan ibunya. Sebagai perbandingan, para peneliti juga mewawancarai 32 laki-laki yang dipenjara karena kejahatan kriminal dan 30 laki-laki yang dipenjara bukan karena kekerasan atau kejahatan seksual.

Lebih lanjut, para pemerkosa dan pelaku penganiayaan anak-anak ini, rata-rata menggambarkan ayahnya bersikap "menolak" dan "kurang konsisten" ketimbang ibu mereka. "Jelas sekali, bahwa sikap dan kebiasaan yang dimiliki para ayah memiliki pengaruh kuat terhadap pertumbuhan anak-anaknya, terutama terhadap para pelaku kejahatan seksual dan penganiayaan anak-anak. Ya, setidaknya begitulah yang terjadi terhadap para penjahat di penjara," kata Ward. (http://www.freerepublic.com/focus/f-news/749298/posts)

Penelitian tentang keayahan juga dilakukan oleh Melanie Mallers, asisten profesor di California State University di Fullerton.

Dalam studi tersebut, Mallers dan rekannya meneliti 912 pria dewasa dan wanita - usia 25-74 - melalui telepon tentang tingkat stres mereka selama delapan hari

Temuan penelitian disajikan hari Kamis pada konvensi tahunan American Psychological Association di San Diego, Pria yang cenderung bereaksi negatif terhadap stres setiap hari melaporkan bahwa sebagai anak-anak "Mereka sangat sedikit kehangatan dari ayah mereka, sedikit dukungan dan kasih sayang. Mereka tidak hadir secara fisik bagi mereka dan tidak membuat mereka merasa percaya diri," kata Mallers. "They weren't involved in their lives overall (Mereka tidak terlibat dalam kehidupan mereka secara keseluruhan)."

Astaghfirullahal ‘adzim....
Mari istighfar yang banyak, para ayah...

Dua penelitian tersebut hanya menguatkan kalimat Ibnu Qoyyim yang sudah dituliskan sejak 7 abad sebelum penelitian ini dihasilkan.
Dua pelajaran penting untuk para ayah semua dari pembahasan ini:

Petunjuk para ulama tentang konsep parenting, sungguh luar biasa. Walaupun kalimat tersebut bukan wahyu, tetapi bersumber dari wahyu dan pengalaman mahal orang besar.
Seriuslah menjadi ayah. Mari kita belajar bersama untuk menjadi ayah. Karena coretan kegagalan dan kumuhnya akhlak anak, ternyata ukiran tangan kita semua....para ayah.
Astaghfirullahal ‘adzim, wa atubu ilaih

Friday, September 23, 2016

Ayah, Ajaklah Anakmu Bermain!

Ayah,  Ajaklah Anakmu Bermain!

(Bermain: Bagian Dari Peran Ayah Dalam Mendidik Anak)




Menarik!


Sungguh menarik tulisan Khalid Asy-syantut dalam bukunya “Rumah, Pilar Utama Pendidikan Anak”.  Pada sub bab “Peran Ayah dalam Mendidik Anak”, pakar pendidikan Islam ini menuliskan, “Ketika anak berusia lebih dari dua tahun, ayah hendaknya mengajak anak bermain bersama.”

Mengapa Khalid Asy-Syantut menganjurkan hal yang demikian?

Apa pentingnya bermain dalam tahapan pendidikan anak?

Dan mengapa harus ayah?

*

Jam menunjukkan pukul 05.30 ketika mobil ayah mulai dinyalakan untuk dipanaskan.  Ayah harus berangkat pagi sekali bila tidak mau terjebak macet dan terlambat sampai di kantor. Bunda mengantarkan ayah di pintu sambil menggendong adek yang masih dalam usia menyusu. Kakak pun menggandeng tangan Bunda sambil terus mengajak bicara sang ayah.  Ayah yang tergesa dan khawatir terlambat hanya menimpali sesekali. Itu pun ketika kakak sudah menanyakan hal yang sama berulang kali hingga membuat ayah bosan dan mulai merasa terganggu.

Jam 05.45 ayah pun berangkat ke kantor. Kakak dan adik menghabiskan waktu bercengkrama dengan bunda sepanjang hari. Bunda melakukan semua pekerjaan rumah sambil mengasuh kakak dan adik. Makanan bergizi pun terhidang. Baju tercuci dan tersetrika rapi. Rumah bersih dan wangi. Lalu bunda mengajarkan kakak membaca dengan telaten sambil menyusui adik. Malam pun tiba, Bunda dengan penuh kasih sayang menutup kegiatan hari ini dengan berkisah untuk kakak dan adik yang mulai mengantuk.

Tiba-tiba terdengar bunyi pagar rumah yang dibuka dan derum suara mobil ayah memasuki halaman. Anak-anak pun berlarian ke depan menyambut ayah.

“Ayah, kakak tadi diajari membuat pesawat oleh Bunda. Ayo Yah kita main, kakak sudah tunggu Ayah dari tadi”.

Ayah menjawab,”Sama bunda saja yah mainnya, ayah lelah sekali. Sekarang ayah mau mandi dan langsung istirahat. Jangan ganggu ayah yah, ayah kan seharian kerja cari uang untuk kalian.”

Kakak pun menggandeng bunda dan minta bunda menyimpankan pesawatnya sambil berkata,”Bunda, ayah capek yah cari uang untuk kita? Kalau begitu kakak main sama ayah hari Ahad saja yah Bun, kalau ayah sedang tidak bekerja.”

Ahad pun tiba. Ayah sudah mandi dan rapi di pagi hari. Melihat ayah sudah rapi, Kakak yang terlambat bangun langsung minta diambilkan pesawat untuk mengajak ayahnya bermain. Namun ayah berkata,”Mainnya sama bunda saja yah Nak, Ayah ada janji reuni dengan teman-teman ayah.Nanti pulang ayah belikan mainan pesawat yang bagus untuk kakak.”

“Asiiik, nanti kita main ya Yah…” seru Kakak.

Ayah pun menyahut,”Sepertinya ayah akan pulang malam hari ini, Kak. Mainnya besok sama Bunda saja yah. Yang penting, besok pagi ketika kamu bangun tidur, mainan pesawat yang baru dan bagus sudah ada di meja belajarmu.” Kakak pun mengangguk. Entah apa yang ada di hatinya.


*

Banyak dari para suami yang mengira bahwa mendidik anak adalah tanggung jawab istri. Suami tidak dituntut kecuali untuk memenuhi kebutuhan materi anak-anak dan istrinya. Akibatnya, suami sering menghabiskan waktunya di luar rumah bersama rekan-rekannya dan ketika kembali ke rumah langsung beristirahat di kamar sambil meminta istrinya menemani anak-anak mereka agar tidak menganggu istirahatnya. Jika demikian keadaannya, keluarga tersebut jelas dalam keadaan bahaya (Asy-Syantut, 2005).

Ayah, tidak malukah pada Rasulullah, sang pemimpin ummat?  Yang dalam kesibukannya yang tak terbayangkan, Beliau tetap menyediakan waktu bercengkrama dengan anggota keluarganya.

Ingatkah kisah bagaimana Rasulullah pernah sholat sambil menggendong Umamah? Beliau memberikan keteladanan dan contoh nyata cara sholat dan adabnya yang dirasakan langsung oleh si kecil Umamah, sekaligus memberikan ilmu kepada para sahabat.

Tidakkah kita ingin mencontoh kemesraan antara Rasulullah dengan Hasan dan Husein radhiallahu anhum ketika mereka duduk dan bercanda bersama? Bagaimana Beliau menyediakan punggung dan dadanya untuk dinaiki oleh kedua cucu kesayangannya, sambil mencium dan mendoakan mereka. Lihatlah nilai yang ditanamkan dari kedekatan emosional yang dibangun oleh Rasulullah dengan Hasan dan Husein.

Juga tidak lupa kita akan kisah dilarangnya Hasan memakan kurma sedekah. Penanaman nilai halal haram yang diberikan bahkan ketika si kecil sedang digendong di atas bahunya.

Tidakkah  itu cara efektif menanamkan nilai keimanan? Gabungan antara kasih sayang, bermain dengan aktivitas fisikyang membangun kedekatan emosional , yang semuanya berpadu dengan ketegasan khas seorang ayah. VIP! Eksklusif hanya Ayah….. Ya! AYAH!


*

Ajaklah anakmu bermain, Ayah…
Mengoptimalkan waktu yang tidak banyak di antara kesibukanmu mencari nafkah,
Karena anakmu menanti dan menikmati kebersamaan bersamamu…

Itu semua adalah peranmu, Ayah…
Dalam mendidik anakmu, harapan terbesarmu, asetmu yang paling berharga
Karena hanya dirimu yang memiliki kombinasi lengkapnya…

Ayah,
Dirimu lah sang pemimpin keluarga ,
Dimana peran besar pendidikan keluarga ada di tanganmu,
Dirimu lah yang  kelak akan mempertanggungjawabkan kepemimpinanmu terhadap kami semua di hadapan Allah pada akhirnya….


(Diolah dan terinspirasi dari tulisan Khalid Ahmad Asy-Syantut dalam bukunya: Rumah Pilar Utama Pendidikan Anak).

(Poppy Yuditya)

Wednesday, September 21, 2016

Teruslah Berkarya, Aku yang Menyuapimu

Teruslah Berkarya, Aku yang Menyuapimu

 Oleh: ust Budi Ashari Lc.

Dalam rangka melaksanakan hadits Nabi,

“Tidaklah kamu menafkahkan sesuatu ikhlas karena Allah kecuali kamu akan diberi pahala, hingga sesuatu yang kamu jadikan di mulut istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka suami tak hanya melaksanakan perintah untuk memberi nafkah kepada istri. Tetapi selayaknya terinspirasi oleh hadits ini untuk makan bersama dan sekali waktu menyuapkan sesuatu pada istrinya.

Dan kini giliran istri yang berinisiatif menyuapi sang suami tercinta.Apalagi Nabi telah memerintahkan agar istri mendampingi suami di waktu makan. Dua kisah ini setidaknya bisa menjadi inspirasi untuk melakukan hal sederhana yang bisa menyegarkan cinta ini,



Ammar bin Roja’ berkata: Aku mendengar Ubaid bin Yaisy berkata: 30 tahun lamanya aku tidak makan malam dengan tanganku. Saudariku yang menyuapiku. Sementara aku menulis hadits. (Siyar A’lam An Nubala’, Adz Dzahabi)

Al Hakim berkata: Akumendengar Abul Fadhl Muhammad bin Ibrahim mendengar dari Ahmad bin Salamah berkata: Dibuatkan untuk Muslim Majlis Mudzakaroh (saling bertukar ilmu). Disebutkan di majlis itu sebuah hadits yang tidak ia ketahui. Kemudian ia pulang ke rumahnya. Dia berkata: jangan ada yang masuk ke kamar! Dikatakan kepadanya: kita diberi hadiah sekeranjang kurma. Maka kurma itu hadirkan untuknya. Dia mencari hadits sambil mengambil kurma demi kurma hingga habis. Dan dijumpai hadits yang dimaksud. Yang lain menambahkan bahwa itulah sebab kematiannya.  (Siyar A’lam An Nubala’, Adz Dzahabi)

Ubaid bin Yaisy, gurunya Bukhari dan Muslim sibuk oleh ilmunya dan disuapi oleh saudarinya.

Kesibukan Muslim dalam menunaikan tugasnya; mencari hadits dari kitab-kitabnya juga menyebabkan ia tidak sempat memikirkan makan. Hingga ia disodori kurma dan iapun memakannya. Dengan konsentrasi tetap ke tugasnya.

Kita semua tahu para suami sangat sibuk dengan tugasnya. Sering kali kegundahan terhadap pekerjaan di luar sana terbawa masuk ke rumahnya. Sehingga ia tak sempat memikirkan kesehatannya untuk sekadar makan.

Di sinilah saatnya seorang istri mendapatkan poin dari suaminya.

Di sinilah istimewanya hadits Nabi yang memerintahkan untuk istri mendampingi suaminya saat makan. Dan bersiap siaga dalam melayani semua keperluan suami.

Kali ini mungkin suami tidak mau bergerak dari meja tugasnya. Kepalanya penuh dengan setumpuk pe er pekerjaan yang harus diselesaikan. Tak ada ruang di otaknya untuk memikirkan makanan. Bahkan mungkin seleranya telah hilang.

Maka, para istri...

Biarkan para suami seperti Ubaid bin Yaisy dan Muslim meringankan isi kepalanya.

Anda hanya perlu berkata: teruslah berkarya, aku yang menyuapimu.

Tips sederhana. Tapi cobalah. Dan lihatlah apa yang akan terjadi.

Tuesday, September 20, 2016

Nutrisi Cinta

Nutrisi Cinta

Oleh: ust. Budi Ashari, Lc

Saat zaman telah lama menggeser perlahan perjalanan cinta. Saat itulah, cinta sering terlihat murung. Mulai terlihat kelelahan. Senyum tak lagi setulus dulu. Terasa dipaksakan. Apa daya, usia cinta telah membaur bersama sempitnya waktu dan penatnya fisik karena tugas semakin menumpuk.

Sungguh, belajar cinta dari Nabi adalah sebuah kemuliaan. Cinta yang agung. Tapi cinta yang sederhana. Sederhana dalam cara mengabadikannya. Tak mesti berbiaya mahal.

Makan bersama suami istri adalah salah satu resep sederhana cinta nabawiyah. Untuk menyirami cinta. Makan bersama antara suami istri jangan hanya sebuah formalitas kaku yang kering tanpa rasa. Tak hanya rutinitas yang membosankan dan membebani.

Dengarlah kenangan Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu anha tentang cinta yang tersirami dengan hal yang terlihat sepele dalam aktifitas makan,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: «كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ، ثُمَّ أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ، فَيَشْرَبُ

Dari Aisyah berkata: Aku minum dalam keadaan haidh. Kemudian aku berikan ke Nabishallallahu alaihi wasallam, beliau meletakkan mulutnya di bekas mulutku. Dan beliau minum. (HR. Muslim)

Minum segelas berdua. Tak hanya indah dalam senandung. Tapi istimewa jika dilakukan dengan hati. Mungkin hanya bibir suami yang menyentuh gelas bekas sentuhan bibir istri. Tapi pemandangan itu direkam dengan sangat baik oleh istri. Jika suami memberikan hatinya saat melakukan itu. Nabi pasti sengaja melakukan itu di hadapan istrinya. Dan sangat dahsyat, Aisyah mengenangnya sebagai sentuhan jiwanya.

Kisah Aisyah inipun memberi pelajaran bahwa tak harus suami yang meminum terlebih dahulu. Aisyah meminumnya terlebih dahulu, kemudian disodorkan oleh Aisyah kepada Nabi. Ini bukan masalah sopan santun yang kaku. Tetapi ini majlis cinta.

Kalau itu pelajaran tentang minum. Kini Rasulullah perlu untuk mengajari sepasang suami istri dalam hal makan.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ تَعْلَمُ الْمَرْأَةُ حَقَّ الزَّوْجِ مَا قَعَدَتْ مَا حَضَرَ غَدَاءَهُ، وَعَشَاءَهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ»

Dari Muadz bin Jabal radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallambersabda,

“Andai seorang wanita tahu hak suami, ia tidak akan duduk saat hadir makanan siangnya(suami) dan malamnya hingga ia selesai darinya.” (HR. Thabrani, Al Bazzar dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu)

Hadits ini mengajarkan dua hal:

a. Istri melayani makan suami

Bisa jadi, di rumah itu ada pembantu. Dan bisa jadi sekali waktu pembantu yang memasak makanan di rumah. Tetapi saat telah tersedia di meja makan, seharusnya istri tampil sebagai pelayan tunggal bagi suaminya yang telah siap menyantap makanan.

Bisa jadi juga, di tengah sedang menikmati makanan, suami memerlukan sesuatu. Ketika suami minta kepada istrinya untuk mengambilkannya, maka jadikan ini sebagai nilai pelayanan yang akan menyuburkan cinta suami dan kebanggaannya. Hati-hati dengan diamnya suami yang menyaksikan istri yang selalu berteriak kepada pembantunya untuk mengambilkan permintaan suami. Karena bahkan dalam hadits ini, Nabi membahasakan posisi istri yang bersiap siaga berdiri hingga suami selesai makan. Walaupun istri tak mesti harus berdiri, karena istri-istri Nabi pun duduk bersama Nabi untuk makan bersama. Tetapi itu kalimat penguatan yang menunjukkan bahwa istri harus siap siaga, kapan pun suami memerlukan sesuatu di tengah aktifitas makan, maka istri bergerak dengan penuh cinta. Agar cinta itu berpadu cinta.

b. Istri menemani makan suami

Walaupun mungkin istri tidak lapar, bahkan tidak ingin makan. Tapi dampingilah suami saat makannya. Lakukan sunnah Nabi ini dan rasakan kasih sayang suami yang terus tumbuh hingga menyentuh langit doa.

Hadits yang ketiga ini juga bicara tentang makan. Walaupun sebenarnya Nabi tidak bicara secara khusus tentang bab suami istri, tetapi menjelaskan tentang semua amal kebaikan akan mendapatkan balasan kebaikan juga.

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ

“Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu kecuali kamu akan diberi pahala atasnya, hingga sesuap yang kau suapkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari, dari jalan Saad bin Abi Waqqas)

Ya, Rasulullah dengan jelas mengajarkan suap-suapan antara suami dan istri. Sayangnya, suap-suapan di budaya kita hanya dilakukan saat di pelaminan. Itupun hanya sebuah ritual budaya belaka. Tanpa hati.

Kalau urusan suap-suapan yang terlihat sepele, harus dibahas oleh Rasulullah maka pasti tidak sepele. Jelas tidak sederhana. Dan harus dibahas. Kalau itu tak hanya menyuapkan nutrisi untuk kesehatan fisik. Tetapi suapan cinta. Nutrisi cinta. Untuk kesehatan cinta kita berdua.

Dari tiga hadits tersebut kita bisa ambil 3 pelajaran mahal.

a. Minum segelas berdua. Dan tentu makan sepiring berdua

b. Istri melayani dan mendampingi suami makan

c. Suami menyuapi istri.

Dan silakan jika sekali waktu istri menyuapi suami (lihat tulisan: Teruslah berkarya, aku yang menyuapimu)

Mungkin hanya segelas air. Tapi menyirami cinta agar segar kembali.

Mungkin hanya seteguk air. Tetapi menghilangkan dahaga rindu.

Mungkin hanya sesuap kue di mulut istri. Tetapi itu adalah suapan cinta.

Nutrisi cinta.

Murajaah 5 Juz Per Hari

Online Tajwid:
Murajaah 5 Juz Per Hari itu Ternyata Sangat Mudah. Begini Caranya...
Oleh: Umarulfaruq Abubakar

Beberapa hari yang lalu saya menjumpai guru saya, Syekh Asran Jabir Asran, di Ma'had Isy Karima, Karanganyar. Saya datang untuk setoran hafalan Surah Ali Imran.

Setelah setoran saya bertanya kepada beliau,
"Syekh, untuk murajaah baiknya berapa juz perhari?"
"Minimal 5 juz" jawab beliau dengan cepat

5 juz ya... Saya 1 juz pun kadang kala masih sulit, kata saya di dalam hati.

"Waktunya kapan, Syekh?" tanya saya lagi
"Kapan saja. Gak perlu banyak waktu kok. 1 Jam cukup" kata Syekh.
"1 Jam 5 Juz?" tanya saya dengan heran

"Kenapa? Jangankan 5 juz. 1 Jam 10 Juz pun cukup" kata Syekh Asran
"Mustahil..." kata saya sambil tertawa
"Mustahil? Saya biasa kok..."
"Bagaimana bisa?" saya semakin takjub

"Saya kasih contoh. Kalau ada yang berangkat ke Jakarta naik kuda, yang satunya naik bis, satunya naik kereta, satunya naik pesawat. Mana yang paling cepat sampai?"
"Tentu yang pakai pesawat"
"Betul. Kullamaa kamulatil quwwah, iqtarabatil masaafah. Semakin sempurna kekuatan sebuah kendaraan, semakin dekat perjalanan" kata Syekh Asran."Begitu pula dalam menghafal Al Quran. Semakin kuat hafalan, maka akan semakin singkat waktu yang kita perlukan dalam murajaah"

"Ya Syekh, itu murajaah sejam 5 juz-10juz dengan bersuara atau tidak (dalam hati saja)?" tanya saya semakin penasaran.
"Dengan bersuara" jawab beliau.. "Nah dengar ya, saya contohkan.."

Lalu Syekh Asran membaca dengan hafalan 1 rubu' surah Ali Imran itu dengan cepat, bacaannya jelas dan tajwidnya pun tepat.

"Nah, saya bisa selesai 1 rubu dalam waktu kurang dari 1 menit" kata beliau setelah selesai membacanya.
"Kalau 1 rubu' bisa saya baca dalam kurang dari 1 menit, itu berarti untuk baca 1 juz saya hanya perlu waktu 7 menit" kata Syekh Asran yang membuat saya semakin takjub, seakan tidak percaya, tapi saya lihat hal ini benar-benar di depan mata saya.

Saya mulai berfikir dalam hati. Kalau satu juz 7 menit, maka 5 juz cukup 35 menit. Satu jam lebih 10 menit selesai 10 juz. Ternyata satu jam memang cukup untuk membaca 10 juz.

"Saya biasa kok saya khatam dua kali dalam sehari" kata Syekh Asran lagi yang membuat hati semakin bergelora.

"Ya Syekh, apakah kelancaran hafalan antum dengan bacaan riwayat lainnya, seperti lancarnya antum membaca dengan riwayat Hafsh?" tanya saya lagi. Sebab saya tau Syekh Asran menguasai riwayat Warasy, Qalun, Abu Amr, Ibnu Katsir, dan riwayat lainnya. Beliau menguasai qiraat asyrah baik yang dari jalur Syathibiyah maupun jalur Thayyibatun Nasyr.

"Setiap kali saya khatam murajaah dengan satu riwayat, saya segera mulai lagi dengan riwayat yang lainnya" jawab beliau sambil tersenyum...

Ikhwah sekalian, 7 menit ternyata sangat berharga kalau kita manfaatkan untuk tilawah dan murajaah Al Quran. Tapi kalau untuk ngobrol dan bermain hape, 7 menit itu sangat sangat kurang dan rasanya seperti tidak ada artinya sama sekali.

Satu jam pun rasanya kurang ketika sudah mulai membaca postingan di grup-grup wa dan membaca status orang lain di facebook. Apalagi ketika komentar kita mendapatkan respon, maka tidak putus-putusnya berbalas komen, lengkap dengan emoticon-emoticonnya.

Maka, bila ingin waktu lebih berharga dan hidup berkah, kita mulai dengan menguatkan hati. Kuatkanlah hatimu, simpanlah hapemu itu sesaat saja. Fokuslah dalam tilawah dan murajaah. Berjuanglah memperlancar hafalan, karena kelancaran hafalan adalah kunci kenikmatan.

"Menghafal Al Quran itu nikmat" kata Ust Baidun Makenun, "bagi yang hafalannya lancar. Kalau tidak lancar, ya tidak nikmat"

Pulang dari rumah Syekh Asran, semangat saya meletup-letup. Saya jadi semangat murajaah. Target 5 juz perhari, walaupun tidak mesti 5 juz yang berbeda. Bisa saja baca 1 juz diulangi 5 kali sehingga menjadi 5 juz, supaya yang satu juz itu semakin lancar.

Dan saya pun merasakan kenikmatan dan ketenangan yang luar biasa.
Beda rasanya satu jam yang dilalui bersama Al Quran dengan satu jam yang dihabiskan bersama facebook dan whatsapp.

Bedanya apa?
Rasakan saja sendiri... 😊😊😊

Taman Al Quran
ww

Thursday, September 08, 2016

RUMAH KITA BUKAN RUMAH LABA-LABA

RUMAH KITA BUKAN RUMAH LABA-LABA

 Posted By: admin  0 Comment

Saat anak mengalami masalah dan tidak sesuai harapan, orangtua kerapkali merasa kewalahan dengan ulah sang anak. Sebagian ‘catatan’ dan pantauan terhadap anak dikumpulkan sebagai bahan ‘evaluasi’ terhadap pendidikan anaknya di sekolah. Tidak sedikit orangtua yang mengharapkan ‘masalah’ pada anaknya ditangani oleh guru di sekolah. Karena memang sebagian besar orangtua berpikir guru berperan lebih dominan dan didengar oleh anaknya. Padahal rumah memiliki peran dan otoritas tiga kali lebih besar dibandingkan sekolah sebagaimana prosentase peran pendidikan menurut Dr. Khalid Asy Syantut.

Rumah sebagai madrasah pertama dan utama dalam rumah tangga sesungguhnya memiliki ‘otoritas’ dan kekuasaan dalam membangun bahtera peradaban. Jangan jadikan rumah kita seperti rumah laba-laba. Rumah laba-laba dibangun di daerah yang tinggi agar aman dan nyaman bagi keluarga laba-laba menjalani hidupnya. Menurut penelitian, serat jaring laba-laba lima kali lebih kuat daripada serat baja. Sehingga rumah ini layaknya seperti rumah yang mewah dan kokoh bagi manusia. Namun Allah menyebutkan rumah laba-laba sebagai rumah yang paling lemah. Bukan karena tinggi, mewah dan kokohnya tetapi karena tiada peran orangtua yang harmonis dalam membesarkan dan mendidik anaknya. Pejantan akan pergi dari rumah laba-laba setelah membuahi betina. Kemudian anak laba-laba kelak akan memakan induk laba-laba saat ia dewasa. Jangan sampai rumah yang kita idamkan hanya besar, indah dan nyaman secara kasat mata tetapi lemah dan kosong dari peran pendidikan orangtua terhadap anak-anaknya.

Inilah pentingnya orangtua memiliki ilmu dan pemahaman mengenai pola pendidikan bagi anak mereka di rumahnya. Setiap orangtua belajar mengenai panduan Islam sekaligus mereka mengamalkannya di wilayah otoritasnya. Jika tidak! Maka wajar orangtua akan kebingungan dan kewalahan terhadap tingkah sang anak. Mari kita perhatikan bagaimana Allah subhanahu wata’ala memberi gambaran rumah sebagai panduan bagi umat ini :

“Di rumah-rumah yang disana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut namaNya, disana bertasbih (menyucikan) namaNya pada waktu pagi dan petang”. Qs. An Nuur : 36

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sungguh Allah maha lembut lagi maha mengetahui”. Qs. Al Ahzab : 34.

Inilah sebagian petunjuk Allah kepada kita dalam membangun rumah kita. Bahkan Allah perintahkan kepada Nabi dan istri-istrinya. Maka mari kita hidupkan rumah kita dengan pendidikan dan pengasuhan yang harmonis dari kedua orangtua. Agar kita tidak kewalahan dan kebingungan saat masalah-masalah timbul pada diri anak kita.

Hal ini bukanlah konsep dan teori semata. Panduan ini yang pernah dilakukan tokoh-tokoh besar yang berhasil meluangkan waktu untuk pendidikan anak mereka. Sebagaimana khalifah Umar bin Abdul Azis yang masih menyempatkan dirinya untuk ber kumpul dengan tujuh belas anaknya. Di sela-sela kesibukan memimpin sejumlah wilayah setara setengah bumi (sekitar 42 negara saat ini), ia berusaha mendengarkan bacaan Al Quran mereka dan mengoreksinya. Begitupun Umar bin Khattab yang bersegera membeli cambuk kemudian mengumpulkan anaknya. Melalui lisan sang Ayah, anak-anaknya mendapatkan pendidikan adab di rumah mereka.

Semoga rumah kita bukan seperti rumah laba-laba. Wallahu a’lam.

Ustadz surya
Www.kuttabalfatih.com

Silsilah Fiqih Pendidikan Anak – No: 33 –ANAK DAN ADAB TERHADAP ORANG TUA

Silsilah Fiqih Pendidikan Anak – No: 33 –ANAK DAN ADAB TERHADAP ORANG TUA

BY · SEPTEMBER 14, 2014

Pertama kali yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan kewajiban beretika kepada orang tua, adalah menyadarkan anak bahwa hal itu merupakan perintah Allah ta’ala. Jadi, beretika kepada orang tua itu adalah ibadah yang mendatangkan pahala. Di dalam al-Qur’an ditegaskan,

”. إِﺣْﺴَﺎﻧًﺎ ِ وَﺑِﺎﻟْﻮَاﻟِﺪَﻳْﻦ “

Artinya: “Berbuat baiklah kepada orang tua”. QS. Al-Baqarah (2): 83.

Lalu diterangkan kepada anak-= mengapa Allah memerintahkan hal tersebut? Antara lain karena jasa orang tua terhadap anak yang tak terhingga besarnya dan tak terhitung banyaknya. Sebagaimana yang diingatkan Allah ta’ala, وَﻫْﻨًﺎ ُ أُﻣﱡﻪ ُ ﺣَﻤَﻠَﺘْﻪ ِ ﺑِﻮَاﻟِﺪَﻳْﻪ َ اﻹِْﻧْﺴَﺎن وَوَﺻﱠﻴْﻨَﺎ “ ﻟِﻲ ْ اﺷْﻜُﺮ ِ أَن ِ ﻋَﺎﻣَﻴْﻦ ﻓِﻲ ُ وَﻓِﺼَﺎﻟُﻪ ٍ وَﻫْﻦ ﻋَﻠَﻰ ُ”. اﻟْﻤَﺼِﻴﺮ َّ إِﻟَﻲ َ وَﻟِﻮَاﻟِﺪَﻳْﻚ

Artinya: “Kami telah memerintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah lemah dan menyapihnya ketika usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu”. QS. Luqman (31): 14.

Baru kemudian ajari anak beberapa etika kepada orang tua. Antara lain:

1. Wajib taat kepada orang tua, kecuali bila mereka memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. [QS. Luqman (31): 15].

2. Berlemah lembut dalam bersikap dan bertutur kata. [QS. Al-Isra’ (17): 23].

3. Merendahkan diri di hadapan mereka. [QS. Al-Isra’ (17): 24].

4. Sering mendoakan kebaikan untuk mereka. [QS. Al-Isra’ (17): 24].

5. Mencium kedua tangan mereka, sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang. Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan kasih sayang yang terjalin antara Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan putrinya; Fathimah radhiyallahu’anha, ﻋَﻠَﻴْﻪِ ُ اﻟﻠﱠﻪ ﺻَﻠﱠﻰ ِّ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﻋَﻠَﻰ ْ دَﺧَﻠَﺖ إِذَا ْ َﻛَﺎﻧَﺖ و“ ِ، ﻣَﺠْﻠِﺴِﻪ ﻓِﻲ وَأَﺟْﻠَﺴَﻬَﺎ ﻓَﻘَﺒﱠﻠَﻬَﺎ إِﻟَﻴْﻬَﺎ َ ﻗَﺎم َ وَﺳَﻠﱠﻢ دَﺧَﻞَ إِذَا َ وَﺳَﻠﱠﻢ ِ ﻋَﻠَﻴْﻪ ُ اﻟﻠﱠﻪ ﺻَﻠﱠﻰ ُّ اﻟﻨﱠﺒِﻲ َ وَﻛَﺎن وَأَﺟْﻠَﺴَﺘْﻪُ ُ ﻓَﻘَﺒﱠﻠَﺘْﻪ ﻣَﺠْﻠِﺴِﻬَﺎ ْ ﻣِﻦ ْ ﻗَﺎﻣَﺖ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ”. ﻣَﺠْﻠِﺴِﻬَﺎ ﻓِﻲ

“Bahwa Fatimah bila berkunjung kepada Nabi shallallahu’alaihiwasallam, maka beliaupun berdiri menghampirinya dan menciumnya lalu mempersilahkannya untuk duduk di tempat duduknya. Dan Nabi shallallahu’alaihiwasallam apabila mengunjunginya, Fatimah juga bangkit dari tempat duduknya lalu menciumnya serta mempersilahkannya untuk duduk di tempat duduknya”. HR. Tirmidzy dan dinilai sahih oleh al-Hakim juga adz-Dzahaby.

Dan masih ada adab yang lainnya, seperti tidak memanggil orang tua dengan namanya, menjaga nama baik mereka, membantu meringankan pekerjaan mereka, memuliakan kerabat dan teman mereka, memberi nafkah pada mereka bila mampu, menziarahi makamnya bila telah wafat dan masih banyak adab yang lainnya. Semoga bermanfaat.

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Sya’ban 1435 / 23 Juni 2014

——————-

* Dirangkum oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari berbagai referensi.

Ketika Menasehati Suami Bisa Mendapatkan Dosa

etika Menasehati Suami Bisa Mendapatkan Dosa Ketika Menasehati Suami Bisa Mendapatkan Dosa Ketika Menasehati Suami Bisa Mendapatkan Dosa

Selasa, 17 Mei 2016 21:22 Ditulis oleh Poppy Yuditya

Ketika Menasehati Suami Bisa Mendapatkan Dosa

Prof. Dr. Sulaeman bin Hamad al Audah, dalam bukunya Al-Mar-atu wad Da’watu fii ‘Ashari an Nubuwwah (2014) menuliskan:

“Dalam masalah dakwah wanita terhadap suaminya terdapat pelajaran yang dapat diambil dan petunjuk Nabawi yang dapat diteladani. Maka di samping upaya dakwah seorang wanita terhadap suaminya yang mengajak kepada kebaikan, maka tidak seyogyanya dakwah ini diiringi dengan sesuatu yang dapat menimbulkan emosi suami, yang mengakibatkan marah dan mencelanya sehingga perkara yang ma’ruf berubah menjadi mungkar, atau bahkan mendapatkan dosa bukan pahala.

Marahnya suami merupakan sesuatu yang besar, sedangkan tujuan dakwah adalah mewujudkan kebaikan dan menegaskan perkara yang ma’ruf. Sedangkan pertikaian antara suami istri apalagi jikalau hal itu mengakibatkan cerai diantara keduanya adalah dari perbuatan syaithan dan sedangkan dakwah harus dilakukan dengan hikmah dan nasihat yang baik.

Perkara itu yang mesti diwaspadai oleh seorang wanita bahkan tatkala suami memiliki beberapa kekurangan dalam masalah ibadah karena kelemahannya atau karena udzur yang dimilikinya, maka janganlah ia menganjurkannya untuk melakukan suatu amalan dari bentuk taqorrub kepada Allah sedangkan ia tidak mengizinkannya, atau berkeluh kesah ketika sang suami melakukan penolakan untuk melakukan ketaatan tersebut. Karena bisa jadi ketaatannya kepada suami harus lebih dikedepankan oleh wanita tersebut.”

*

Hati istri mana yang tidak tersentak membacanya? Tulisan yang berisi peringatan bagi para istri yang salah bersikap dalam menasehati suaminya. Padahal keinginannya luhur: Ingin suaminya menjadi suami yang lebih baik, lebih sholih, lebih dekat dengan Allah. Namun ternyata justru diingatkan oleh Syaikh Sulaiman dengan keras bahwa bila caranya menasehati suami salah, ternyata sang istri bisa jadi bukan sedang menjalankan amalan ma’ruf, justru malah mungkar. Akhirnya dosa-lah yang didapatkannya.

Mari kita diam sejenak...

Memutar kembali slide kehidupan yang lalu. Pernahkah kita ngambek berat sampai mendiamkan suami karena ketika kita ingatkan suami tidak mau “nurut”? Pernahkah kita memaksakan kehendak kita karena kita yakin kita benar, hingga gantian suami yang kemudian mendiamkan kita? Pernahkah kita merasa lebih tahu hingga merendahkan suami dengan kata-kata yang kita bahkan sudah tahu akan sangat menyakitinya

Pernahkah kita tidak membiarkan suami mengambil keputusan, karena tidak percaya pada keputusan yang akan diambilnya? Pernahkah kita merasa benar dengan pendapat kita, hingga memasang wajah menyepelekan suami dan mengingkari keputusan yang dibuatnya?

Astagfirullah…..Astagfirullah…..Astagfirullah.

Sesungguhnya bagian dari kearifan seorang perempuan dalam berdakwah adalah menjaga prioritas dan memahami kebutuhan suami. Lakukan lah kajian mendalam untuk mewujudkan kemaslahatan bersama antara suami dan istri.

Bukan sekadar mendakwahi suami dengan tanpa memperhatikan dampak dan akibatnya.

Tetapi yang harus dijadikan target bagi kita adalah memberikan motivasi dalam kebenaran dan penerimaan nasihat terutama dalam hal-hal yang bersifat sunnah baik dari perkataan maupun perbuatan.

Maka pemahaman perempuan dalam dakwah secara umum dan terhadap suaminya secara khusus akan dapat mewujukan hasil yang baik dan menghilangkan dampak buruk.

Allahu’alam bish-shawab.

Yaa Robb, bimbinglah kami…

Wednesday, August 24, 2016

Ambil Bagian, Jangan Tinggal Diam

💦
Ada kisah yang menceritakan seekor burung pipit di zaman Nabi Ibrahim . Tatkala kekasih Allah itu dibakar oleh Namrudz yang kejam, burung kecil ini berusaha melakukan sesuatu dan tidak tinggal diam.

Dia angkut air dengan paruhnya yang kecil untuk memadamkan kobaran api besar yang disulut raja lalim.

Berulang-alik dia mengangkut air, dan pasti, usaha itu tidak memadamkan api yang sangat besar.
💧
Burung-burung lain bertanya pada pipit kecil, mengapa dia melalukan itu? Tak berguna dan tidak memberi hasil. Begitu kata mereka. Tapi burung pipit kecil memberikan jawaban yang sangat luar biasa.

"Mungkin air yang kubawa tidak akan memadamkan api di bawah sana. Tapi jika nanti Allah bertanya, maka aku bisa memberikan jawaban. Bahwa aku tidak tinggal diam. Aku telah melakukan sesuatu!"

Jangan berdiam diri, ambil bagian dalam dakwah dan perjuangan. Besar kecil tak jadi soal. Sebab Allah yang menilai dan memandang.
🍃
Sahabat Bilal bin Rabbah RA, ketika Sayyidina Abubakar mengumumkan akan mengumpulkan Al Quran, beliau mengambil bagian yang sering dianggap ringan dalam sejarah.

Beliau pergi dan berjalan ke tempat-tempat yang jauh, membawa kabar dan pengumuman. Menyeru kepada semua kaum Muslimin yang menghafal Al Quran untuk datang ke Masjid Nabi, untuk dikumpulkan dan dibukukan.

Maka jika kini kita membaca Al Quran, sungguh Sahabat Bilal RA akan mendapatkan pahala yang mengalir dari usaha yang beliau lakukan.
Beliau mengambil peran dari sebuah perjalanan dan proses sejarah yang besar.
Tidak tinggal diam.
🍂
Sahabat Ammar bin Yassir juga punya peran yang sangat unik. Saat pembangunan Masjid Nabawi, beliau sangat semangat sekali.

Diangkutnya batu di pundak kiri dan kanan. Berkali-kali beliau ulang alik memanggul batu, sampai keruntuhan.

Dan membuat khawatir Rasulullah dan semua sahabat yang lain. Mereka bertanya, mengapa membawa batu tak satu-satu? mengapa harus membawa beban di kiri dan kanan?

Lalu Sahabat Ammar memberikan jawaban, "Aku membawa dua. Yang satu untukku sendiri. Dan yang satu lagi, aku hadiahkan untuk Rasulullah Junjungan."

Allahu Akbar !

Agama ini dibawa dan didukung oleh manusia-manusia yang mengambil peran.

Manusia-manusia yang bekerja dan tidak tinggal diam. Manusia-manusia yang maju dan bergerak mengusung dakwah dengan segala dan berbagai kemampuan.

Subhanallah.

Ini inspirasi kita di KUTTAB ASSAKINAH.

Kita tidak tinggal diam dalam menggerakkan iman dan adab.

Kita tidak tinggal diam dalam perjuangan.

Tuesday, January 26, 2016

Ternyata! Taat Kepada Suami Harus Didahulukan, Daripada Orang Tua (Istri Wajib Baca)

Al-Hamdulillah. Segala puji milik Allah. Pada kesempatan ini kita masih diberikan umur panjang semoga kita selalu dalam lindungannya. kali ini admin akan membagikan 
Ternyata.! Taat Kepada Suami Harus Didahulukan, Daripada Orang Tua. 

Rabbi semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk RasulillahShallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya. 

Al-Qur'an dan sunnah menerangkan, suami memiliki hak yang sangat besar atas istrinya. Istri harus taat kepada suaminya, melayani dengan baik, dan mendahulukan ketaatan kepadanya daripada kepada orang tua dan saudara-saudara kandungnya sendiri. Bahkan suami menjadi surga dan nerakanya.

Allah Ta'ala berfirman Dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa Ayat 34 yang berbunyi sebagai berikut:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. Al-Nisa': 34)


Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ

"Tidak boleh (haram) bagi wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di sisinya kecuali dengan izinnya. Istri juga tidak boleh memasukkan orang ke dalam rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Dan harta yang ia nafkahkan bukan dengan perintahnya, maka setengah pahalanya diberikan untuk suaminya." (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Abu HurairahRadhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Apabila wanita menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya; maka disampaikan kepadanya: masuklah surga dari pintu mana saja yang kamu mau." (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 660)

Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits yang dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: Saat Mu'adz tiba dari Syam, ia bersujud kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau berkata: "Apa ini wahai Mu'adz?"

Mu'adz menjawab, "Aku telah datang ke Syam, aku temui mereka bersujud kepada para pemimpin dan penguasa mereka. Lalu aku berniat dalam hatiku melakukan itu kepada Anda."

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallambersabda: "Jangan lakukan itu, kalau saja aku (boleh) memerintahkan seseorang bersujud kepada selain Allah, pastilah aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah seorang istri disebut telah menunaikan hak Rabb-nya sehingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk melayaninya sementara ia berada di atas pelana unta, maka hal itu tidak boleh menghalanginya." (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Maknanya: hadits tersebut memerintahkan kepada para istri untuk mentaati dan siap melayani suaminya. Tidak boleh ia menolak ajakan suami walau ia sudah siap melakukan perjalanan, yakni sudah berada di atas pelana untanya, maka hal ini lebih ditekankan saat ia berada dalam keadaan selain itu.

Diriwayatkan dari al-Husain bin Mihshan, bahwa bibinya pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallamkarena satu keperluan. Saat sudah selesai, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya kepadanya,

"Apakah kamu punya suami?"
Ia menjawab, "Ya."
Beliau bertanya lagi, "Bagaimana sikapmu terhadapnya?"
Ia menjawab, "Aku tidak kurangi hak-nya kecuali apa yang aku tidak mampu."
Beliau bersabda, "Perhatikan sikapmu terhadapnya, karena ia surga dan nerakamu." (HR. Ahmad dan Al-Hakim, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al;Targhib wa al-Tarhib, no. 1933)

Maksudnya, suamimu itu adalah sebab kamu bisa masuk surga jika kamu tunaikan hak-nya. Dan suamimu itu menjadi sebab kamu masuk neraka jika kamu lalaikan hal itu. Suamimu itu adalah sebab kamu bisa masuk surga jika kamu tunaikan hak-nya. Dan suamimu itu menjadi sebab kamu masuk neraka jika kamu lalaikan hal itu. . .

Taat Suami VS Taat Orang Tua
Sering terjadi kasus, orang tua wanita –baik bapak atau ibunya- menuntut kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berseberangan dengan tuntutan suami. Hal ini sering menjadi dilema dan masalah berat bagi sebagian wanita. Pada saat seperti ini, mana yang harus lebih didahulukan oleh wanita muslimah?

Apabila ketaatakan kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada orang tua, maka bagi seorang wanita (istri) muslimah wajib mendahulukan ketaatan kepada suaminya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang wanita yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit: "Ketaatan kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkannya." (Syarh Muntaha al-Iradat: 3/47)

Di dalam kitab al-Inshaf (8/362), "Seorang wanita tidak boleh mentaati kedua orang tuanya untuk berpisah dengan suaminya, tidak pula mengunjunginya dan semisalnya. Bahkan ketaatan kepada suaminya lebih wajib."

Apabila ketaatakan kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada orang tua, maka bagi seorang wanita (istri) muslimah wajib mendahulukan ketaatan kepada suaminya

Terdapat satu hadits dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam–menurut sebagian ulama statusnya hasan- yang meguatkan hal ini, dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Siapakah wanita paling besar haknya atas wanita?" Beliau menjawab: "Suaminya." Aku bertanya lagi, "Lalu siapa manusia yang paling besar haknya atas laki-laki?" Beliau menjawab, "Ibunya." (HR. al-Hakim, namun hadits ini didhaifkan oleh Al-Albani dalam Dhaif al-Targhib wa al-Tarhib, no. 1212)

Dengan demikian maka, bagi wanita haruslah lebih mendahulukan ketaatan kepada suami daripada ketaatan kepada kedua orang tuanya. Namun jika keduanya bisa ditunaikan secara sempurna dengan izin suaminya, maka itu yang lebih baik. Wallahu Ta'ala A'lam.