Tuesday, September 20, 2016

Nutrisi Cinta

Nutrisi Cinta

Oleh: ust. Budi Ashari, Lc

Saat zaman telah lama menggeser perlahan perjalanan cinta. Saat itulah, cinta sering terlihat murung. Mulai terlihat kelelahan. Senyum tak lagi setulus dulu. Terasa dipaksakan. Apa daya, usia cinta telah membaur bersama sempitnya waktu dan penatnya fisik karena tugas semakin menumpuk.

Sungguh, belajar cinta dari Nabi adalah sebuah kemuliaan. Cinta yang agung. Tapi cinta yang sederhana. Sederhana dalam cara mengabadikannya. Tak mesti berbiaya mahal.

Makan bersama suami istri adalah salah satu resep sederhana cinta nabawiyah. Untuk menyirami cinta. Makan bersama antara suami istri jangan hanya sebuah formalitas kaku yang kering tanpa rasa. Tak hanya rutinitas yang membosankan dan membebani.

Dengarlah kenangan Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu anha tentang cinta yang tersirami dengan hal yang terlihat sepele dalam aktifitas makan,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: «كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ، ثُمَّ أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ، فَيَشْرَبُ

Dari Aisyah berkata: Aku minum dalam keadaan haidh. Kemudian aku berikan ke Nabishallallahu alaihi wasallam, beliau meletakkan mulutnya di bekas mulutku. Dan beliau minum. (HR. Muslim)

Minum segelas berdua. Tak hanya indah dalam senandung. Tapi istimewa jika dilakukan dengan hati. Mungkin hanya bibir suami yang menyentuh gelas bekas sentuhan bibir istri. Tapi pemandangan itu direkam dengan sangat baik oleh istri. Jika suami memberikan hatinya saat melakukan itu. Nabi pasti sengaja melakukan itu di hadapan istrinya. Dan sangat dahsyat, Aisyah mengenangnya sebagai sentuhan jiwanya.

Kisah Aisyah inipun memberi pelajaran bahwa tak harus suami yang meminum terlebih dahulu. Aisyah meminumnya terlebih dahulu, kemudian disodorkan oleh Aisyah kepada Nabi. Ini bukan masalah sopan santun yang kaku. Tetapi ini majlis cinta.

Kalau itu pelajaran tentang minum. Kini Rasulullah perlu untuk mengajari sepasang suami istri dalam hal makan.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ تَعْلَمُ الْمَرْأَةُ حَقَّ الزَّوْجِ مَا قَعَدَتْ مَا حَضَرَ غَدَاءَهُ، وَعَشَاءَهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ»

Dari Muadz bin Jabal radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallambersabda,

“Andai seorang wanita tahu hak suami, ia tidak akan duduk saat hadir makanan siangnya(suami) dan malamnya hingga ia selesai darinya.” (HR. Thabrani, Al Bazzar dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu)

Hadits ini mengajarkan dua hal:

a. Istri melayani makan suami

Bisa jadi, di rumah itu ada pembantu. Dan bisa jadi sekali waktu pembantu yang memasak makanan di rumah. Tetapi saat telah tersedia di meja makan, seharusnya istri tampil sebagai pelayan tunggal bagi suaminya yang telah siap menyantap makanan.

Bisa jadi juga, di tengah sedang menikmati makanan, suami memerlukan sesuatu. Ketika suami minta kepada istrinya untuk mengambilkannya, maka jadikan ini sebagai nilai pelayanan yang akan menyuburkan cinta suami dan kebanggaannya. Hati-hati dengan diamnya suami yang menyaksikan istri yang selalu berteriak kepada pembantunya untuk mengambilkan permintaan suami. Karena bahkan dalam hadits ini, Nabi membahasakan posisi istri yang bersiap siaga berdiri hingga suami selesai makan. Walaupun istri tak mesti harus berdiri, karena istri-istri Nabi pun duduk bersama Nabi untuk makan bersama. Tetapi itu kalimat penguatan yang menunjukkan bahwa istri harus siap siaga, kapan pun suami memerlukan sesuatu di tengah aktifitas makan, maka istri bergerak dengan penuh cinta. Agar cinta itu berpadu cinta.

b. Istri menemani makan suami

Walaupun mungkin istri tidak lapar, bahkan tidak ingin makan. Tapi dampingilah suami saat makannya. Lakukan sunnah Nabi ini dan rasakan kasih sayang suami yang terus tumbuh hingga menyentuh langit doa.

Hadits yang ketiga ini juga bicara tentang makan. Walaupun sebenarnya Nabi tidak bicara secara khusus tentang bab suami istri, tetapi menjelaskan tentang semua amal kebaikan akan mendapatkan balasan kebaikan juga.

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ

“Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu kecuali kamu akan diberi pahala atasnya, hingga sesuap yang kau suapkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari, dari jalan Saad bin Abi Waqqas)

Ya, Rasulullah dengan jelas mengajarkan suap-suapan antara suami dan istri. Sayangnya, suap-suapan di budaya kita hanya dilakukan saat di pelaminan. Itupun hanya sebuah ritual budaya belaka. Tanpa hati.

Kalau urusan suap-suapan yang terlihat sepele, harus dibahas oleh Rasulullah maka pasti tidak sepele. Jelas tidak sederhana. Dan harus dibahas. Kalau itu tak hanya menyuapkan nutrisi untuk kesehatan fisik. Tetapi suapan cinta. Nutrisi cinta. Untuk kesehatan cinta kita berdua.

Dari tiga hadits tersebut kita bisa ambil 3 pelajaran mahal.

a. Minum segelas berdua. Dan tentu makan sepiring berdua

b. Istri melayani dan mendampingi suami makan

c. Suami menyuapi istri.

Dan silakan jika sekali waktu istri menyuapi suami (lihat tulisan: Teruslah berkarya, aku yang menyuapimu)

Mungkin hanya segelas air. Tapi menyirami cinta agar segar kembali.

Mungkin hanya seteguk air. Tetapi menghilangkan dahaga rindu.

Mungkin hanya sesuap kue di mulut istri. Tetapi itu adalah suapan cinta.

Nutrisi cinta.

No comments: